BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wacana merupakan
unsur kebahasaan yang relativ paling kompleks dan paling lengkap. Satuan
pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat,
paragraph, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada dasarnya juga merupakan
unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian dan pemahaman wacana
dalam komunikasi memerlukan berbagai alat (piranti) yang cukup banyak. Oleh
karena itu, kajian tentang wacana menjadi “wajib” ada dalam proses pembelajaran
bahasa. Tujuannya tidak lain untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami
dan memakai bahasa dengan baik dan benar.
Wacana memiliki unsur
pendukung yang sangat lengkap dan kompleks. Unsur tersebut terdiri atas unsur
verbal (linguistik) dan unsur nonverbal (nonlinguistik). Struktur linguistik
wacana merupakan satuan lingual tertinggi dan terlengkap dalam hirarki
kebahasaan. Sementara, unsur non linguistik yang melingkupinya mengandung
sejumlah besar pengetahuan dan informasi tak terbatas. Hal ini mengisyaratkan,
bahwa wacana adalah aspek kajian yang luas, dan bersifat kontekstual.
Kajian wacana
berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan
bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk
memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan,
dan bukan kebahasaan (umum).
Berdasarkan
kenyataan tersebut, wacana membutuhkan seperangkat pengetahuan yang luas,
mendalam dan memadai. Pengetahuan utama yang diperlukan untuk tujuan itu antara
lain ialah pengetahuan linguistik, pengetahuan dunia dan pengalaman.
A.
Tujuan
dan Kegunaan Makalah
a. Agar
Mahasiswa mangetahui kajian wacana .
b. Agar
mahasiswa mampu mencari solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan
wacana.
a. Sebagai
syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) pada mata kuliah Wacana
Bahasa Indonesia.
b. Hasil
makalah ini diharapkan dapat dijadikan media untuk menambah dan memperluas
khasanah keilmuan, khususnya bagi pengembangan keguruan ilmu pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wacana
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008), wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang
direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku,
artikel, pidato atau khotbah. Sementara itu, wacana juga dapat diartikan
sebagai sebuah tulisan yang teratur menurut urut-urutan yang semestinya atau
logis.
Kata wacana
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris discourse,
kata discourse berasal dari
bahasa latin discourses, yakni lari
kian kemari (diturunkan dari dis-“dari”,
dalam arah yang berbeda, currere “lari”.
Dari kata tersebut terdapat beberapa pengertian sebagai berikut :
Wacana
adalah :
1.
Rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu
kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu.
2.
Kesatuan bahasa yang terlengkap dan
tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi
yang tinggi serta bersikenambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang
nyata, disampaikan secara lisan atau tulis. (J.S. Badudu 2000)
3.
Focus pada struktur yang secara alamiah
terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana
banyak terdapat pada wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan
ucapan-ucapan. (Crystal 1987)
4.
Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang
terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai
sebuah aktivitas personal dimana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
(Howthorn 1992)
5.
Wacana adalah komunikasi lisan atau
tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang
masuk didalamnya; kepercayaan disini mewakili pandangan dunia; sebuah
organisasi atau repre sentasi dari pengalaman. (Roger Fowler 1977)
6.
Kadangkala sebagai bidang dari semua
pernyataan (statement), kadangkala sebagai praktik regulative yang dilihat dari
sejumlah pernyataan.(Foucault 1972)
Menurut
Tarigan yang dimaksud wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan
tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi
tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata dan
disampaikan secara lisan atau secara tertulis (Dalam
Eriyanto, 2005 : 56 )
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut jelas bahwa yang dimaksud wacana adalah satuan
bahasa yang terlengkap yang bisanya merupakan rentetan kata atau kalimat yang
koheren dan di sampaikan dalam bentuk lisan atau tertulis dan memiliki bagian
awal dan bagian penutup yang mempunyai tujuan
tertentu, adapun tujuan dari bentuk wacana adalah :
1.
Wacana sebagai satuan bahasa yang
paling besar yang digunakan dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan .
2.
Wacana sebagai hasil dan proses, dalam
komunikasi secara lisan wacana merupakan proses komunikasi secara lisan yang
berupa rangkaian ujaran dan ujaran ini sangat dipengaruhi oleh konteks
karena wacana lisan bersifat tenporer yang fana (wacana yang di ucapkan
cepat hilang ) .
3.
Wacana sebagai penggunaan bahasa dalam
berkomunikasi baik secara lisan maupun secara tulisan, penggunaan bahasanya
dapat berupa iklan, drama, diskusi, atau berbentuk makalah .
a.
Etimologi
istilah wacana
Istilah
Wacana berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, yang aertinya berkata, berucap (Douglas, 1976:
266). Dalam kamus bahasa jawa kuno
Indopnesia kata waca berarti baca, kata u/amaca
artinya membaca.
Sekarang
istilah wacana banya bermunculan dan digunakan dalam berbagai aspek. Seperti
dunia pendidikan formal, budaya, satya wacana, widya wacana dan sebagainya
Dengan
berbagai uraian di atas, istilah wacana dapat dimaknai sebagai, ucapan,
perkataan,bacaan, yang bersifat kontekstual.
b.
Wacana,
discourse, discursus
Kata
descours berasal dari bahasa Latin “descursus” yang artinya ‘ lari kesana
kemari’,’lari bolak balik’. Jadi discursus
berarti ‘lari dari arah yang
berbeda’.
Webster
(1983:522) memperluas makna descoursus sebagai
berikut :
1. Komunikasi
kata-kata.
2. Ekspresi
gagasan-gagasan
3. Risalah
tulis, ceramah dan sebagainya.
Dari
penjelasan di atas membuktikan bahwa descoursus
berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan
maupun tulisan.
Descoursus
digunakan
oleh para ahli bahasa dalam kajian linguistik. Kemudian dikenal istilah descorsus analysis (analisia wacana). Di
Indonesia, ilmu tentang analisi wacana berkembang pada pertengahan `1980-an, seperti analisis bidang
antropologi, sosiologi dan ilmu politik (Dede Oetomo, 1993:4).
Unsur pembeda
antara “bentuk wacana” dengan “bentuk bukan wacana”adalah pada ada tidaknya
kesatuan makna (organisasi semantis) yang di milikinya.
|
Contoh ; ‘ketika
seseorang si suatu warung makan
mengatakan :“ soto, es jeruk, dua”
Ucapan
itu dapat dimaknai sebagai wacana karena mengandung keutuhan makna yang lengkap.
Alasanya ;
a. Urutan
kata ditata secara teratur
b. Makna
dan amanatbya berkesinambungan
c. Di
ucapkan di tempat yang sesuai
(kontekstual)
d . Antara
penyapa dan. peserta saling dapat memahami makna tuturan singkat tersebut.
Anton
M. Moeliono (1988:334) mengatakan bahwa:
Wacana adalah
rentetan kalimat yang berkaitan,
yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna.
|
Wacana
merupakan satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki ke kebahasaan merupakan
suatu gremetikal tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam
bentuk kata, kalimat, paragraph, atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat
lengkap (Harimurni Kridalaksana. 1984:208)
HG
Tarigan (1987:27) mengatakan bahwa :
Wacana
adalah satuan bahasa yang paling lengkap , lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi
dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas,
berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
|
c.
Kedudukan wacana dalam linguistik
Kedudukan
wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurni
Kridalaksana, 1984:334). Wacana sebagai satuan grametikal dan objek kajian linguistik mengandung semua unsure
kebahasaan yany diperlukan dalam
berkomunikasi.
Unsure-unsur
satuan kebahasaan dibawahnya seperti fonem, morfem, frase, klausa, atau
kalimat.
BAGAN
A
Kedudukan
Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Wacana
Kalimat
Klausa
Frase
Kata
Morfem
fonem
Bagan
a menunjukkan bahwa semakin keatas, suatu kebahasaan akan semakin besar
(melebar). Artinya, satuan kebhasaan yang ada di bawah akan tercakup dan
menjadi bagian dari satuan bahasa yang
berada di atasnya.
B.
Pengertian
Konteks Wacana
Hakikat Konteks
Konteks adalah
benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi
penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat
pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks
atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama
dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa,
seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa),
saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau
polilog)
Pengguna bahasa
harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan
menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa
senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus
diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Konteks wacana terdiri atas
berbagai unsure yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan,
peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saran.
1.
Pembicara
Mengetahui
isi pembicara pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasikan
pembicaraannya
2.
Pendengar
Kepentingan
mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar terhadap
siapa ujaran tersebut di tujukan memperjelas memperjelas makna ujaran itu.
3.
Situasi
Konteks
kewacanaan yang berupa tempat, waktu, dan peristiwa pembicaraan dilakukan.
Termasuk dalan latas ini hubungan antara pembicara dan pendengar, gerak-gerik
tubuhnya, roman mukanya. Dengan mengetahui seperti itu mukanya merah karena
marah, atau pucat karena takut, waktunya ketika jauh malam, atau pagi-pagi
benar akan akan membuat seseorang memahami makna pembicaraan.
Konteks
tersebut sangat berpengaruh dalam penggunaan satuan unsur wacana.(11)“Inikan
sudah jam satu. Masak begitu saja tidak siap.” Sebentar lagi lonceng.
Berbunyi. Apa kita harus menunggu di sini. Terlampau! Ayo cepat!
Kalau kita
ketahui latarnya, seprti dimuka kelas, jam telah menunjukkan jan 13.00 dan yang
berbicara itu marah, hubungannya antara murid dan guru, tentulah dapat kita
terka bahwa yang dibicarakan itu soal kerja siswa yang sudah diberi waktu cukup
tapi tidak juga selesai.
4.
Waktu
Suatu
peristiwa dapat memberikan makna terntu. Dimana suatu tuturan itu berlangsung,
di pasar, kantor dan lain-lain. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu
berlangsung, pagi hari, malam hari, suasana santai, resmi, panas, tegang, dan
sebagainya.
5.
Tempat
Tampat
dan waktu sangat berhubungan keberadaannya. Dimana kita berada disitulah waktu
berkesinambungan.
6.
Amanat
Amanat
mengacu pada bentuk dan isi amanat. Bentuk amanat dapat berupa surat, esai,
iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.
7.
Kode
Kode mengacu
kepada ragam bahasa yang digunakan. Kalau salurannya lisan, kodenya dapat
dipilih salah satu dialek bahasa yang ada. Lain halnya jika salurannya tulis,
maka ragam bahasa bakulah yang digunakan. Pemilihan kode bahasa yang tidak
tepat sangat berpengaruh pada efektivitas komunikasi.
8.
Saluran
Bahasa
digunakan dengan berbagai cara. Ada yang digunakan secara lisan, ada juga yang
digunakan secara tulisan. Lisan dan tulisan merupakan saluran bahasa. Dengan
kata lain ada media lisan dan ada media tulisan.
C.
Unsur-Unsur
Wacana
Wacana
memiliki dua unsur pendukung utama:
1.
Unsur Internal
2.
Unsur eksternal
Unsure
internal berkaitan dengan asfek formal kebahasaan, sedangkan unsure
eksternal berkenaan dengan hal di luar
wacana itu sendiri.
Kedua unsure diatas membentuk satu kepaduan dalam
suatu struktur yang utuh dan lengkap.
1.
Unsur-unsur internal wacana
Unsur
internal suatu wacana terdiri atas
satuan kata atau kalimat.
Satuan
kata adalah kata yang berposisi sebagai kalimat atau kalimat satu kata. Untuk
menjadi satuan wacana yang besar, satuan kata atau kalimat akan bertalian dan
bergabung membentuk wacana.
a.
Kata
dan Kalimat
Kata pada
struktur yang lebih besar merupakan bagian dari kalimat. Sedangkan kalimat
merupakan susunan yang terdiri dari beberapa kata yang memiliki pengertian
dengan intonasi sempurna. Ada juga satu kalimat terdiri dari satu kata.
Kalimat satu
kata adalah bentuk ungkapan atau tuturan terpendek. Kita cenderung bertanya
jawab dengan kalimat-kalimat pendek.
Contoh
:
Kuliah?
Enggak.
Kemana ?
Main.
Fikker
(1980:11) menyatakan bahwa:
Kalimat adalah
ucapan bahasa yang memiliki arti penuh dan bebas keseluruhannya ditentukan oleh intonasi
(sempurna).
|
Kebermaknaan suatu kalimat ditentukan oleh
ketergantungannya kepada makna kalimat lainnya, yang menjadi rangkaiannya.
Sebab pada dasarnya, kata atau kalimat dikatakan bermakna karena mengandaikan
adanya unsure lain yang menjadi pasangan ketergantungannya.
Fokker (1980:83) menguraikan dengan jelas
sebagaimana kutipan berikut ini :
Meslipun setiap kalimat bisa berdiri sendiri, tetapi
dalam kesendirian itu hanya ada sampai batas-batas tertentu. Oleh sebab memang
ada pertalian antara kalimat-kalimat itu. Jadi kalimat-kalimat itu pada satu
pihak berdiri sendiri, tapi di pihak lain saling tergantung pula satu sama
lain. Tiap-tiap kalimat seakan sudah menentukan hadirnya kalimat lain. Biar pun
ada kalimat yang tersendiri, ia tetap terkait dalam satu hubungan yang lebih
besar, yaitu situasi dimana ia diucapkan. Jadi penyendirian kalimat pada
hakekatnya hanyalah nampaknya saja. Bukankah ia pada kenyataannya menjadi
bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang tak di ucapkan tetapi ada baik
dalam pikiran pembaca/pendengardan seakan-akan menjaga agarkalimat yang
bersangkutan “dipahami”?
b.
Teks
dan konteks
Istilah teks bisa dimaknakan bahasa
tulis, dan wacana bahasa lisan (Dede Oetomo, 1993:4)
Dalam tradisi
tulis teks bersifat “monolog noninteraksi”, dan wacana lisan bersifat”dialog
intraksi”. Perbedaan kedua istilah terletak pada segi pemakaiannya saja.
Atas dasar
perbedaan itulah muncul dua tradisi pemahaman dibidang linguistik. Yaitu
“analisis linguistic teks” dan “analisis wacana”. Analisis linguistic teks
langsung mengandaikan objek kajiannya berupa bentuk formal biasa yaitu kosa kata dan kalimat. Sedangkan analisis wacana
mengharuskan disertakan analisis tentang konteks terjadinya satuan tuturan.
2.
Unsur-unsur eksternal
Unsur
eksternal wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, (tidak secara
eksplisit) sesuatu itu berada diluar wacana. Unsur-unsur eksternal terdiri atas
implikatur terhadap unsure-unsur tersebut.
a. Implikatur
Grice (dalam Soeseno, 1993:30)
mengemukakan bahwa :
Implikatur
ialah ujaran yang menyiaratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya
diucapkan.
|
Yang
berbeda tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Katalain implikatur adalah maksud,
keinginan atau ungkapan-ungkapan hati tersembunyi.
Contoh
:
Perhatikan
percakapan dibawah ini:
b. Presuposisi
Rika
; Aku belum makan, Bu.
IBU
; Nanti, Nak. Bapakmu belum pulang.
Percakapan antara Rika dan Ibu pada contoh di atas
mengandung implikatur, yaitu ‘tidak ada nasi, bahkan mungkin tidak ada uang’(
di buktikan dengan “Nanti, Nak Bapakmu belum pulang”). Karena dapat memahami
implikatur tuturan Rika, yakni minta makan, sebenarnya ibu menjawab bahwa tidak
ada yang bisa dimakan, beraspun tidak ada.
Gottlob Frege (dalam PWJ Nababan,
1987:48) mengemukakan bahwa:
Semua
pernyataan memiliki pranggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar.
|
Rujukan inilah
yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti oleh
pasangan bicara yang pada giliranya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung
dengan lancer.
“Rujukan” itulah
yang dimaksud dengan “prannggapan”, yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar
mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi
bermakna bagi pendengar atau pembaca.
Contoh
:
1. Athiya
murid kelas 3 SD. Dia anak baik.
2. Athiya
bukan murid kelas 3 SD. Dia bukan anak baik.
Praanggapan untuk pernyataan (1) ialah bahwa’ada
anak yang bernama Athiya, dia murid kelas 3 SD dan dia anak baik’. Ketika
dinegatifkan menjadi kalimat (2), praanggapannya adalah ‘ ada anaka yang
bernama Athiya, tetapi ia bukan murid kelas 3 dan dia bukan anak yang baik’’.
c. Referensi
Referensi adalah
hubungan antara kata dengan benda yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku
pembicara atau penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah
pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal
yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya.
1) Referensi
eksofora (situasional/kontekstual)
Referensi
eksofora adalah penunjukan atau interpretasi terhadap kata yang relasinya
terletak dan tergantung pada konteks situasional.
Bila
interpretasi itu terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu
dinamakan referensi endofora.
Contoh
:
Itu
Mobil.
Kata
“Itu” menunjukan pada “sesuatu” yaitu Mobil. Mobil yang di maksud, “kenderaan
roda empat” tidak terdapat dalam teks, melainkan berada di luar teks.
Jadi,
referensi eksofora mengkaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang
ditunjuk diluar teks tersebut.
2) Referensi
endofora (tekstual)
a) Referensi
endofora anaforis adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya
dalam teks.
Contoh :
Nabil mendapatkan peringkat satu
lagi. Dia memang pintar.
Kata “dia” pada kalimat kedua
mengacu pada Nabil, yaitu nama yang telah disebut sebelumnya (pada kalimat
pertama). Pola pengacuan masih merujuk pada sesuatu/seseorang yang berada dalam
teks. Jadi tidak perlu dicari nama Nabil yang mana.
b) Referensi
endofora katafora adalah bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada anteseden
yang akan disebutkan sesudahnya.
Contoh
:
Jenis
mobil yang sangat terkenal di Kota Tanjungpinang. Mobil Jazz.
Kata
“Jenis mobil” pada kalimat pertama mengacu pada anteseden yang disebut
sesudahnya, yaitu “ Mobil Jazz”. Penunjukan itu sekaligus menjadi jawabannya.
d. Inferensi
Menurut
Moeliono (1988:358) inferensi dalam bidang wacana berarti sebagai proses yang
harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat
di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis. Simpulan atau
inferensi sering harus dibuat sendiri
oleh pendengar (pembaca) karena dai belum tau benar apa sebenarnya yang
dimaksud pembicara. Karena dibuat sendiri oleh pendengar (pembaca), tidak
jarang simpulan itu ternyata salah atau tidak sama persis dengan apa yang
dimaksudkan pembicara atau penulis wacana.
Simpulan
merupakan proses yang harus dilakukan pendengar (pembaca) untuk memahami makna
yang tidak terungkapkan secara harfiah dadalam sebuah wacana (
moeliono,ed.,1988:358). Pendengar (pembaca) harus mampu mengungkap makna,
memahami, menafsirkan, dan menyimpulkan makna wacana meskipun makna itu tidak
terungkapkan secara eksplisit.
Contoh :
- Wah, kereta ekspres Jakarta-Bogor sudah leawt, ya Dik?
- Ya. Ibu mau ke Bogor?
- Tidak. Ke Bojong
- Ibu harus naik kereta lain. Kerepses tidak berarti di setiap stasiun. Tunggu 10 menit lagi Bu
Seorang
ibu ingin naik kereta ekspres ke Bojong,
tetapi ia datang terlambat. Dia juga tidak tau kalau kereta itu sudah lewat.
Simpulan itu dipertegas oleh jawaban A ketika ditanya “Ibu mau ke Bogor?”
jawabnya “tidak, ke Bojong.” proses penyimpulan itulah yang harus dilakukan B(
sebagai pendengar) agar ia mendapakan pengetahuan yang jelas dan benar.
e. Konteks Wacana
Konteks ialah situasi atau latar
terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan
terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
tuturan, apakah itu berkaitan dengn arti, maksud, maupun informasinya, sangat
tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Menurut
Moeliono (1988:336) dan Samsuri (1987:4), konteks terdiri atas beberapa hal,
yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topic, peristiwa, bentuk,
amanat, kode, dan saluran. Konteks yang berkaitan dengan partisipan (penutur
wacana) juga sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan.
Misalnya muncul tuturan berikut ini.
Contoh ;
Saya pingin meliburkan diri. Sudah bosan
Yang
mengucapkan tuturan itu adalah seorang mahasiswa, maka sangat mungkin yang
dimaksud dengan meliburkan diri adalah “cuti”.
D.
Keutuhan
struktur wacana
Keutuhan struktur wacana terdiri atas 2 (dua) bagian
yaitu struktur wacana dan aspek-aspek keutuhan wacana.
1. Struktur wacana
Menurut
Halliday dan Hassa (1976:2) mengemukakan bahwa struktur wacana sebagai kesatuan
maknawi (semantic) ketimbang sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Suatu
rangkaian kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bila didalamnya terdapat
hubungan emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai
wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki makana
sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantis.
2. Aspek-Aspek Keutuhan Wacana
Wacana
yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu
dan menyatu. Aspek-aspek yang dimaksud, antara lain adalah kohesi, koherensi,
topic wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis dan aspek
semantis. Secara komprehensif dapat dikatakan bahwa keutuhan wacana dapat
terjadi dari adanya saling keterkaitan antar dua aspek utama wacana, yaitu teks
dan konteks. Unsur kohesi meliputi aspek-aspek leksikal, gramatikal, fonologis,
sedangkan unsur koherensi mencakup aspek semantik dan aspek topikalisasi.
a. Kohesi
Kohesi adalah hubungan semantik
atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalam teks dan unsur-unsur lain yang
penting untuk menafsirkan atau menginterpretasi teks; pertautan logis
antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan antara unsur
yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian
yang aktif (Moeliono, 1989 : 343).
Kohesi
juga bisa dikatakan sebagai pertautan bentuk.
Contoh
:
Pak Sali pergi ke kota naik bus kota. Ia pergi membeli sabuk
baru. Sabuk yang dibeli pak Sali itu harganya empat puluh ribu rupiah.
Hargannya memang agak mahal. Namun demikian, Pak Sali sangat menyukainya.
1) Aspek-aspek
kohesi
a) Kohesi
grametikal
Kohesi grematikal merupakan suatu
proses perpaduan yang menghubungkan makna grematikal dengan unsure wacana untuk
membentuk kepaduan makna.
1. Referensi
(petunjuk)
Contoh
dari referensi ;
Wajah
Ayah berseri-seri. Dia yakin akan diterima kerja di perusahaan ternama itu.
2. Subtitusi
(pengganti)
Contoh subtitusi ;
Hari ini Rita tidak masuk kuliah,
dia mengirim surat. Di dalam surat yang Ia kirim menyatakan kalau dirinya sakit.
3. Ellipsis
(pelengkap)
Ellepis merupakan salah satu jenis
kohesi grametikal yang berupa penghilangan atau pelepasan satuan lingual
tertentu. Pelepasan ini digunakan untuk memadatkan kata atau supaya susunan
kalimat menjadi singkat, padat, dan
menarik.
Contoh ellipsis
Setiba Eka dirumah, Eka di sapa
oleh tetangganya.” Dari mana ? Eka menjawab “ Dari pasar. (padahal Eka tidah
hanya ke pasar, dia juga ke Bank, ke rumah neneknya, dan ke laundry).
4. Konjungsi
(kata sambung)
Konjungsi
adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara
mengubungkan unsur yang satu dengan unsure yang lain dalam wacana.
Contoh
konjungsi
Walau
hujan, Eva tetap pergi ke Kampus. Ia
tidak mau ketinggalan pelajaran dan ia menergetkan pada semester V ini IP nya 4,00.
b. Kohesi
Leksikal
1) sinonim
(persamaan kata)
Sinonim adalah suatu kata yang
memiliki bentuk yang berbeda namun memiliki arti atau pengertian yang sama atau
mirip. Sinomin bisa disebut juga dengan persamaan kata atau padanan kata.
Contoh
dari sinonom
Bisa
= dapat
Riska
tidak hanya bisa menyanyi, tapi ia juga dapat menari.
2) Antonim
(lawan kata)
Antonim adalah suatu kata yang
artinya berlawanan satu sama lain. Antonim disebut juga lawan kata.
Contoh
dari Antonim
Rajin
= Malas
Iman
anak yang rajin, Ia selalu membantu kedua orang tuanya sementara kakak nya
malas. Sehingga banyak tetangga membicarakan kakak Iman.
3) Hiponim
(kata yang berkompeten)
Hiponim yaitu kata-kata yang
memunyai hubungan antara makna spesifik dan makna generik.
Contoh
dari Hiponim
Riko
memelihara beberapa Hewan dirumahnya, ada
Ayam, Kucing, Bebek, Burung, dan kelinci.
4) Repetisi
(pengulangan)
Repetisi
adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat)
yang dianggap penting untuk member tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai
(Sumarlam,2003:34) dalam Sumarlam dkk (2004:9).
Contoh
dari repetisi
Dialah
yang selalu ku rindu dan kutunggu, dialah yang seantiasa kunanti kedatangannya,
dan dialah yang ku harap menjadi pendamping hidupku.
5) Kolokasi
(sanding kata)
Kolokasi disebut juga sanding kata
Contoh
dari kolokasi
Petani
di Bintan terancam gagal panen Padi. Sawah yang mereka garap terendam banjir
selama delapan hari.
Pada
contoh di atas, Petani berkolokasi secara tepat dengan padi dan sawah sehingga
tercipta kohesi wacana.
b) Koherensi
Koherensi
merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi
suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.
1) Hubungan
sebab-akibat
Hubungan sebab-akibat
yang menyebabkan keutuhan wacana itu adalah kalimat yang satu menjadi sebab
dari satu kejadian dan kalimat yang lain menjadi akibatnya.
Contoh :
Hari ini, udara sangat
dingin. (sebab) Oleh karena itu, semua orang memakai baju hangat. (akibat)
2) Hubungan
sarana-hasil
Contoh :
Tim Gajah Mada sangat
kompak dan cerdas, memang tidak bisa dipungkiri, mereka berlatih dengan sungguh
dan disiplin.
3) Hubungan
alasan-sebab
Contoh :
Kelas C.8 harus giat
berlatih dan menjunjung kekompakan, jika tidak akan gagal dalam pelaksanaan
pagelaran seni antar kelas C akhir Desember nanti.
4) Hubungan
sarana-tujuan
Contoh
:
Kamu harus gigih dan
pantang menyerah untuk menyelesaikan kuliahmu. Kamu harus ingat tujuan
kedatangan kamu, yakinlah kamu nanti bakal menjadi orang yang sukses.
5) Hubungan
latar-kesimpulan
Contoh
:
Rumah Pak Suhardi sudah
sangat lama berdiri. Tetapi masih kelihatan bagus. Karena Pak Suhardi rajin
merawatnta.
6) Hubungan
kelonggaran-hasil
Contoh
:
Bu Aisyah sudah lama
menekuni bisnis antar wilayah. Tetapi Bu Aisyah selalu gagal.
7) Hubungan
syarat-hasil
Contoh
:
Berlatihlah dan
berjuanglah dengan gigih dan disiplin, kamu pasti menjadi pemenang yang handal.
8) Hubungan
perbandingan
Membandingkan sesuatu
dengan yang lain adalah salah satu cara untuk melengkapi wacana.
Contoh :
Hubungan Rio dan Sitah
kandas, karena Rio orang miskin sedangkan Sitah anak orang terkaya di daerah
ini.
9) Hubungan
parafrastis
Parafrastis adalah
pengungkapan sebuah kalimat dengan cara yang lain.
Contoh :
Semua sudah saya
kerjakan. (Menyuci, menyapu dan memasak)
10) Hubungan
amplifikasi
Amplifikasi adalah
penguatan suatu bagian kalimat lain. Penguatan ini dimaksudkan agar apa yang
kita ucapkan dalam kalimat pertama lebih
dipercaya.
Contoh ;
Anak itu sangat pandai.
Dia selau meraih peringkat pertama di kelasnya. Bahkan Dia pernah peringkat pertama
di Olimpiade Internasional.
11) Hubungan
aditif waktu (simultan dan beruntun)
Contoh :
1. Biarkan
dia istirahat. Saya akan carikan obat untuknya (simultan)
2. Kami
sudah kuliah selama empat tahun, dan akan diwisuda setelah itu menjadi serjana
dan mendapat pekerjaab tetap
12. Hubungan
aditif non waktu
Contoh :
Para siswa itu nakal?
Atau guru kurang adil?
13. Hubungan
identifikasi
Contoh :
Tidak pernah menempuh
pendidikan formal bukan berarti bodoh. Kenal Hamka? Ahli bahasa. Ahli sejarah
itu tidak pernah menempuh pendidikan formal.
14. Hubungan
generik-spesifik
Contoh :
Paras Ayu rupawan. Wajahnya cantik, rambutnya bagaikan
mayang terurai, bibirnya bak delima merkah senyumnya sangat menawan. Apalagi
ditambah tutur bahasanya sopan.
15. Hubungan
ibarat
Contoh ;
Ijal dan Ifan setiap hari
berkelahi, bagaikan Anjing dengan Kucing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian dari Bab II (dua) diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dapat
ditemukannya gejala topikalisasi wacana pada informasi dalam setiap kalimat
(paragraph) berhubungan dengan informasi dalam kalimat (paragraph) lainnya dan
memiliki unsure-unsur kohesi, koherensi. Keberadaan aspek-aspek pengutuh wacana
tersebut berfungsi mempertalikan bagian-bagian wacana sehingga terbentuklah
struktur wacana (bentuk dan makna) secara utuh dan padu.
B.
Saran
1. Setiap
makalah yang mengarah pada analisis wacana kiranya perlu dilakukan
pembatasan-pembatasan, dengan harapan agar diperoleh hasil makalah yang rinci,
mendalam, dan sebagai acuan.
2. Sebagai
bahan acuan bagi mahasiswa yang ingin menyusun makalah tentang wacana.
DAFTAR
PUSTAKA
Anita
Kusumawardani. 1994. “Analisis Wacana”
dalam DIKSI No.4 th II. Yogyakarta : FBS UNY.
Anton M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Fokker, AA. 1960. Sintaksis Indonesia. Jakarta : Pranja Paramita.
Hamid Hasan Lubis. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung:
Angkasa.
HG Tarigan. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Samsuri. 1988. Analisis Bahasa. Jakarta : Erlangga.